DONGENG : RAKIB & ATIB

 

RAKIB & ATIB

(Ahmad Abdul Karim)

 

Dahulu kala di sebuah desa terpencil terdapat seorang kakak beradik bernama Rakib dan Atib. Sang kakak bernama Rakib dan adiknya bernama Atib. Mereka tumbuh dewasa dengan kasih sayang kedua orangtuanya.

Rakib merupakan anak yang rajin dan baik hati. Sedangkan Atib mempunyai sifat kebalikan dari Atib. Atib merupakan anak yang sering marah-marah, sombong, dan tamak.

Pada suatu hari ayah Rakib dan Atib meninggal dunia. Konon katanya disebabkan oleh penyakit turunan yang didapatkan dari orangtuanya. Seisi kampung dirundung kesedihan. Sebab, Sukarya merupakan sosok orang yang baik hati dan senang membantu orang yang mengalami kesusahan.

Air matapun belum kering. Atib meminta kepada ibunya untuk membagikan harta warisan yang mesti ia dapatkan. Rokayah dengan bijak membagikan harta warisan sebagaimana semestinya. Sesuai dengan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut. Rakib sang kakak mendapatkan warisan berupa kebun di ujung selatan desa. Sedangkan Atib mendapatkan sawah yang lumayan luas di ujung utara desa.

“Terima kasih ibunda. Ini sudah lebih dari cukup.” Ujar Rakib

“Ibunda, masa kakanda mendapatkan warisan tanah yang lebih luas dari pada adinda.” Protes Akib.

“Tenang anak-anakku kalian sudah mendapatkan harta warisan sesuai dengan hukum yang berlaku. Ibunda membagikan warisan peninggalan Ayah kalian sebagaimana seharusya.”

“Tapi ibunda kenapa kakanda Rakib mendapatkan bagian yang lebih banyak? Lalu warisan rumah ini untuk siapa?”

“Tenang Atib, kakandamu anak pertama.  Dan sebagaimana mestinya, anak pertama harus mendapatkan bagian yang lebih banyak. Dan rumah ini belum bisa ibunda berikan kepada siapapun. Sebab ibunda masih hidup. Kalian harus menunggu ibunda mati. Mengerti?”

“Tapi ibunda…”

“Diam Atib!” tegas Rokayah

Atib masih belum menerima apa yang telah disepakati dan berikan oleh ibunya. Bahkan, keserakahan telah menghitamkan hatinya. Sehingga dengan segala cara ia berusaha mendapatkan warisan yang didambakannya.

***

Di senja kuning gading, Atib berniat meracuni Rakib. Berharap dapat memiliki warisan bagian Rakib. Namun sayang, racun yang dibuatnya salah sasaran. Makanan yang telah ditaburi racun ternyata dimakan oleh ibunda. Sehingga akhirnya Rokayah meninggal. Atib yang serakah menggambil warisan rumah tanpa persetujuan Rakib.

“Ya sudah, rumah ini buat kamu saja. Aku toh, sudah punya rumah. Jadi, aku kira tak perlu rumah lagi.” Ujar Rakib

Atib senang sekali. Sebab Rakib memberikan warisan rumah itu secara cuma-cuma. Namun Atib yang boros menghamburkan-hamburkan warisan yang telah diberikan orangtuanya. Sawah yang telah diberikan dijual dan uangnya di pakai berpoya-poya. Rumah yang ditempati juga digadaikan dan uangnya dipakai berjudi, berminum-minuman keras, dan bermain perempuan.

Warisan yang didapatkan Atib raib. Sehingga akal jahat Atib mencari segala cara untuk mendapatkan warisan kebun yang dimiliki Rakib.

Rakib yang merupakan anak rajin dan ulet. Menyulap kebun yang tadinya hanya tanah kosong dan tandus menjadi perkebunan tebu dan hasilnya melimpah ruah. Bahkan hasil tebunya di ekspor ke luar daerah. Sehingga hari-hari Rakib disibukan dengan mengurus kebun tebu yang amat dicintainya.

***

Suatu pagi, Atib yang tidak suka dengan apa yang telah dicapai Rakib merencanakan hal jahat. Di langit yang masih gelap, Atib merusak kebun yang amat dicintai Rakib. Atib Menebas pohon-pohon tebu Rakib dan bakarnya.

Ketika matahari mulai meninggi, Rakib seperti biasa mengunjungi kebun kesayangannya. Namun alangkah kagetnya saat Rakib melihat kebunnya porak-poranda. Hanya sisa-sisa abu yang kini menghiasi kebun Rakib.

“Ya ampun, kenapa kebunku bisa seperti ini? Siapa yang tega berbuat seperti ini kepadaku Tuhan?”

Rakib pun, berdoa kepada Tuhan dan kini dengan berat hati telah mengikhlaskan apa yang telah terjadi.  Rakib akhirnya mulai mengarap lagi kebunnya. Kali ini ia menanam cabai. Alhasil, cabai-cabai yang ditanam Rakib tumbuh dengan subur dan hasilnya melimpah. Bahkan setiap panen cabai yang didapatkan dapat memenuhi kebutuhan penjulan pasar terbesar di kota.

Atib mulai dengki dengan apa yang telah dicapai oleh Rakib. Sehingga, di senja hari mendatangi Rakib.

“Kakanda, kamu harus tahu sebenarnya kebun ini adalah warisan yang diberikan buat saya?”

“Tidak adinda, ibu telah memberikan warisan kepada kita sebagaimana mestinya, sesuai dengan hukum yang berlaku di desa ini.”

“Tapi kakanda, adinda mau kebun itu?”

“Tapi, Adinda. Kamu sudah mendapatkan sawah yang luas dan rumah peninggalan orangtua kita.”

“Ah… Dasar kakak kurang ajar.”

Plak… Akhirnya Atib memenggal kepala Rakib dengan kapak. Kepala Rakib kini telah tergeletak di tanah. Atib merasa binggung melihat darah bersimpahan di mana-mana. Bayangan Rokayahpun hadir bersama Sukarya.

Atib, kenapa kamu bunuh kakakmu?

Atib merasa binggung, dan kini kepalanya dipenuhi oleh penyesalan. Akhirnya ia memengal kepalnya sendiri.

Mulai dari saat itu warga mengenang tragedi Rakib & Atib.

 

TAMAT

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer