RESENSI KUMPULAN CERITA PENDEK NYANYIAN TANPA NYANYIAN KARYA PENGARANG PEREMPUAN KALIMANTAN SELATAN

 

RESENSI KUMPULAN CERITA PENDEK NYANYIAN TANPA NYANYIAN KARYA PENGARANG PEREMPUAN KALIMANTAN SELATAN



 Judul Buku : Nyanyian Tanpa Nyanyian

Penulis : Sembilan Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan

Penerbit : Tahura Media

Tahun Terbit : Cetakan Pertama, Desember 2008

 

Kumpulan Cerpen ini mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol mengenai eksistensi para pengarang perempuan. Di mana secara jelas melalui kumpulan cerpen ini saya dapat melihat sembilan karya pengarang perempuan Kalimantan Selatan yang sebelumnya tidak saya ketahui. Walaupun beberapa di antaranya pernah saya dengar saat melakukan diskusi dengan salah satu dosen di kampus.

Buku kumpulan cerpen Nyanyian tanpa Nyanyian memuat karya dari Anna Fajar Rona, Dewi Alfianti, Dewi Yuliani, Hudan Nur, Naliya Hikmah JFK, Nonon Djazouly, Rismiyana, Ratih Ayuningrum, dan Syafiqatul Machmudah. Kesembilan pengarang tersebut mempunyai warna yang berbeda. Sehingga pembaca akan melihat keragaman teknik bercerita dari sembilan pengarang perempuan Kalimantan Selatan.

Anna Fajar Rona dalam cerpennya “Subuh Pertama di Masjidil Haram” mengisahkan tokoh Dargi yang merupakan seorang pemabuk dan preman di Terminal. Di mana Dargi mengalami kejadian-kejadian diluar nalar saat berada di tanah Haram atau para muslim menyakini sebagai bentuk pembalasan atas apa yang telah dilakukannya sebelum pergi ke tanah Haram. Hal tersebut digambarkan oleh Anna di mana Dargi sebagai pemabuk mengalami sakit perut dan harus mengeluarkan isi perutnya yang berbau busuk sebelum menunaikan tawaf. Hal tersebut jika diyakini secara pandangan islam yaitu  Allah ingin agar alkohol yang yang berada di dalam perut Dargi keluar terlebih dahulu sebelum ia menunaikan perbuatan suci.

Dewi Alfianti lewat cerpennya yang berjudul “Nyanyian Tanpa Nyanyian” mampu membius pembaca melalui jalan penceritaan yang menarik. Di mana pembaca dibawa ke masa lalu dan masa kini tentang seorang yang kabur ke rumah orarngtuanya lantaran membawa uang songokan. Namun perbuatannya bukan tanpa alasan. Hal tersebut dilakukan karena tokoh aku sebagai masyarakat kota telah mengalami gembelengan kehidupan kota yang mampu tokoh aku mampu melakukan perbuatan seperti itu. Selain itu, diperkuat dengan sifat sang istri yang materialistik.

Dewi Yuliani melaui “Pasar” mampu merekam peristiwa realistik yang terjadi di pasar,. Di mana ia menghadirkan tokoh-tokoh penipu yang berpura-pura sebagai orang buntung dan juga beberapa tokoh yang merepresentasikan sisi marginal dari kehidupan masyarakat bawah.

Hudan Nur, melalui “Sofia Perpisahan Itu Mengandung Dua Arti” mencoba membahasakan kisah asmara dengan metafor-metafor legit. Namun saya rasa Hudan Nur telalu berlebih dalam mengesploitasi karakter tokoh pria. Hal serupa juga dilakukan oleh Ratih Ayuningrum lewat “Donggeng Kesetian”. Di mana pengarang mencoba mengisahkan tentang kisah percintaan virtual atau dunia maya. Tokoh pria dalam cerita mengalami distraksi perasaan akibat salah kirim email. Sehingga terjadinya kisah cinta akibat peristiwa tersebut. Namun saya rasa hal tersebut merupakan hal yang sering terjadi di dunia maya. Sehingga secara tema Ratih dalam cerita ini terlalu mempertauhkan tulisannya lewat tema yang diangkat. Sebab tema yang diangkat merupakan hal klise. Namun secara teknik penceritaan Ratih memberikan yang hal menarik, sehingga cerita tidak membosankan.

Nonon Djazouly melaui “Piano” mencoba mengisakan perbedaan paham yang dialami oleh pasangan suami istri. Di mana sang istri mengalami phobia akan piano. Sedangkan sang suami adalah seorang pencinta piano. Sehingga atas adasr tersebut menimbulkan konflik antara suami istri. Namun di akhir cerita sang istri dapat melupakan phobia-nya secara tidak langsung melalui perbuiatan yang sering dilakukan oleh si suami.

Kisah perbedaan dalam pasangan juga terlihat dalam “Episode Durian” karya Nailya Hikmah Jf. Di mana sang suami mencoba memaksakan kehedaknya agar sang istri memakan durian. Padahal sang istri tidak suka dengan buah berduri tersebut. Hal tersebut secara tidak langsung memerlihatkan kepada pembaca bahwa pengarang mencoba menampilkan budaya patriaki yang terjadi di Kalimantan. Di mana pada kasus tersebut sang istri rela mengalah dan pertengkaran dianggap usai. Namun pengarang mengakhiri cerita melalui kematian sang istri yang sangat tragis.   

Rismiyana dan Syafiqatul Machmudah menampilkan realitas dalam cerita. Walaupun tidak secara blak-blakkan, tepai pembaca dapat melihat hubungan antara cerita dengan fakta yang terjadi. Melalui “Pasar itu Milik Ibuku” Rismiyana mampu menampikan problematika pengusuran pasar yang terjadi di wilah Kalimantan. Sedangkan melalui “Sebuah Mata, Sejuta Sesal” Syafiqatul Machmudah menampilkan unjuk rasa yang terjadi di Banjarmasin. Sehingga dari kedua cerita tersebut kita dapat melihat intertekstualitas dari cerita, di mana cerita selalu berhubungan fakta yang dialami pengarang.

Membaca Sembilan cerita pendek karya Sembilan pengarang perempuan Kalimantan Selatan pembaca akan dibawa ke dalam dunia cerita yang dikontruksi oleh para pengarang. Walupun tokoh-tokoh yang dihadirkan merupakan laki-laki, namun suara perempuan tetap hadir menghiasi isi cerita.

Selamat Membaca.

Komentar

Postingan Populer