BUDAYA PATRIARKI DAN BENTUK KETIMPANGAN GENDER DALAM DRAMA MANGIR KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

BUDAYA PATRIARKI  DAN BENTUK KETIMPANGAN GENDER DALAM

DRAMA MANGIR KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Oleh

AHMAD ABDUL KARIM

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan, Universitas Singaperbangsa Karawang

Jl. H.S Ronggowaluyo, Telukjambe, Karawang, Jawa Barat, Indonesia, 41361

ahmadabdulkarim526@gmail.com

 

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang budaya patriarki dan ketimpangan gender dalam naskah Drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.

Sumber data penelitian ini fokus pada bahasan patriarki dan perlawanan perempuan yang dialami dalam naskah Drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan teori feminisme. Cara pengumpulan data menggunakan teknik baca catat dan analisis deskriptif kualitatif yaitu dengan mengategorikan, dan menginterpretasi yang ada.

Hasil penelitian menunjukan yaitu: Pertama, Drama mangir ini mengangkat tema tentang kaum feodalisme di nusantara era kerajaan. Kedua, terdapat budaya patriarki yang menyebabkan ketimpangan gender pada tokoh perempuan. Misalnya tokoh perempuan dilecehkan dianggap sebagai barang yang murah. Ketiga, pengaruh ketimpangan gender disebabkan karena adanya perbedaan status sosial dalam masyarakat, sehingga tidak hanya perempuan saja yang mengalami ketimpangan gender dalam naskah ini, laki-laki pun mengalami ketimpangan gender. Keempat, bentuk perlawanan perempuan dalam mengatasi ketimpangan gender yaitu dengan bersembunyi dibalik perisai laki-laki, dan berani mengungkapkan isi hati.

Kata kunci: Ketimpangan, patriarki, feminisme, mangir, feodalisme

PENDAHULUAN

Kelahiran karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah dicerap oleh sang sastrawan. Pada mulanya sastrawan dalam menciptakan karyanya yaitu melihat, meresapi, dan menyerap teks-teks yang menarik perhatiannya, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Ia menyaring konvensi sastranya, konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian mentransformasikan ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri (Pradopo, dalam Kandati, Juliardgi, 2006: 1)

Sastra lisan atau folklor adalah sebuah karya sastra yang berkembang di suatu wilayah tertentu. Disampaikan secara lisan lewat tuturan dari mulut ke mulut. Menurut Dananjaya (dalam Kandati, Juliardgi, 2006: 10) mengartikan bahwa sastra lisan (folklor) sebagai kebudayaan yang kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun secara tradisional dalam versi yang berbeda-beda, dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.

Sastra lisan merupakan salah satu cabang kesenian dan saran komunikasi atau ekspresi bahasa yang memainkan peranan penting dalam masyarakat tradisional. Kehadiran sastara lisan di tengah peradaban manusia tak dapat ditolak bahkan sebaiknya diterima sebagai salah satu realitas sosial. Sampai sekarang, dalam berbagai kebudayaan suku bangsa di Indonesia sastra lisan masih tetap diciptakan dan dihayati sebagai satu-satunya bentuk sastra di samping bentuk sastra lisan (Teeuw, dalam Kandati, Juliardgi 2006: 1-2).

Cerita tentang Mangir merupakan serita lisan yang berkaitan erat dengan sejarah pada masyarakat Jawa, sehingga kisah tersebut menjadi bagian dari khazanah kesustraan Jawa. Kisah ini dituturkan dalam Babad Mangir, Serat Babad Mangir, dan Babab Bendhaning Mangir (Kandati, Juliardgi 2006:2).

Mangir merupakan cerita tentang perseteruan Mataram dengan Mangir yang di pimpin oleh Wanabaya (Ki Ageng Mangir) dengan Panembahan Senopati yang merupakan penguasa Kerajaan Mataram. Perseteruan politik tersebut terjadi karena Wanabaya tidak mau menyerahkan daerah Mangir yaitu daerah perdikan (bebas dari upeti)  kepada Panembahan Senopati Mataram. Karena Wanabaya mempunyai prinsip bahwa tanah Mangir adalah tanah leluhur yang harus dijaga. Karena Panembahan Senopati serakah dan ingin memperluas daerah Kerajaan Mataram. Atas usul Tumenggung  Mandaraka dilakukanlah siasat untuk menipu Wanabaya dengan mengorbankan anaknya tercinta Pembayun Putri.

Selanjutnya Pramoedya Ananta Toer menuliskan kisah Mangir dengan cara yang berbeda yang cerita yang beredar di masyarakat. Tetapi tidak menghilangkan eksistensi dan cerita aslinya. Melalui tangan Pram Naskah Mangir menjadi naskah yang terkenal dan femomenal yang hampir masyarakat sastra maupun masyarakat awam mengetahuinya.

Awal mulanya kisah mangir sering dipentaskan oleh masyarakat dalam bentuk pertunjukan ketoprak (sebuah pertunjukan drama tradisional yang berkembang di daerah Jawa) dengan cerita yang beredar dalam masyarakat bahwa Ki Ageng Mangir merupakan seorang Pemberontak. Tetapi melalui tangan Pram hal tersebut dibalikan. Serta ceritanya menjadi lebih masuk akal. Karena dahulu di bumi Jawa diterapkan sistem Feodalisme yaitu sisitem kerajaan di mana ada raja dan ada hamba atau rakyat jelata. Sistem Feodal tersebut diangkat oleh Pram ke dalam Drama Mangir.

Sistem Feodalisme, Kolonialisme yang merupakan warisan dari para penjajah menjadi sebuah budaya yang berkembang dalam masyarakat. Selain itu, berkembang pula budaya patriarki yang menyebabkan ketimpangan gender pada perempuan.        

 

BIOGRAFI PENULIS

Pramoedya Ananta Toer atau lebih akrab disapa Pram adalah  salah satu sastrawan besar yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Putra sulung dari seorang kepala sekolah Institute Budi Oetomo ini telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa asing.

Pram pernah bekerja sebagai juru ketik dan korektor di kantor berita Domoi (LKBN ANTARA semasa pendudukan Jepang) memantapkan pilihannya untuk menjadi seorang penulis. Ia telah menghasilkan artikel, puisi, cerpen, dan novel sehingga melambungkan namanya sejajar dengan para sastrawan dunia.

Karya Pram penuh kritik sosial membuatnya sering keluar masuk penjara. Pram pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa orde lama. Kemudian selama orde baru ia ditahan  selama 14 tahun sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karier militernya dan di penjara Belanda maupun Jakarta pada tahun 1948 dan 1949. Pada tahun 1950-an ia kemudian tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembali ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia.

Beberapa karya Pram dilarang untuk dipublikasikan karena dianggap menganggu keamanan negara pada masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Misalnya pada tahun 1960-an, ia ditahan pemerintah Soeharto karena pandangan prokomunis Tiongkoknya. Buku yang berjudul Hoakiau di Indonesia dicabut peredarannya, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia. Meskipun demikian, Pram mendapatkan banyak penghargaan dari lembaga-lembaga di luar negeri. Potret kehidupan Pram yang dibenci Negara sendiri tetapi dihargai dunia membuatnya tetap optimis dan tidak pernah berhenti berkarya.

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award pada tahun 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis protes ke yayasan Ramon Magsaysay. Beberapa dari tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah Taufik Ismail, Mochtar Lubis, dan HB Jassin. Tokoh-tokoh tersebut protes karena dianggap Pram tidak pantas untuk menerima penghargaan Ramon Magsaysay. Dalam beberapa opini-opini di media, para pendatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari pra-1965. Mereka menuntut pertanggungjawaban Pram untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran ‘tidak terpuji’ pada ‘masa paling gelap bagi kreativitas’ pada zaman demokrasi terpimpin. Semenjak orde baru Pram memang tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di Koran.

Sampai akhir hayatnya dia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Tepatnya pada 27 april 2006 kesehatan Pram memburuk. Ia diadiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini dijangkitnya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Upaya keluarga untuk merujuknya ke rumah sakit tidak membawa banyak hasil, malah kondisinya semakin memburuk dan akhirnya meninggal pada 30 April 2006 di Jakarta.[1]

Pendidikan

1)      SD Institut Boedi Oetomo (IBO) Blora

2)      Radio Vakschool 3 selama 6 bulan, Surabaya

3)      Kelas Stenografi, Chuo Sangi-In, satu tahun, Jakarta

4)      Kelas dan seminar perekonomian dan Sosiologi oleh Drs. Mohammad Hatta, Maruto Nitimiharjo

5)      Taman Dewasa: Sekolah ini ditutp oleh Jepang, 1942-1943

6)      Sekolah Tinggi Islam: Kelas Filosofi dan Sosiologi, Jakarta

Karir

1)      Juru ketik di kantor Berita Domei, Jakarta 1942-1944

2)      Instruktur kelas Stenografi di Domei

3)      Editor Japanese-Chinese war Chronicle di Domei

4)      Repoter dan Editor untuk majalah Sadar, Jakarta 1947

5)      Editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka, Jakarta 1951-1952

6)      Editor Rubik Budaya di Surakarta Kabar Lentera, Bintang Timur, Jakarta 1962-1965

7)      Fakultas Sastra Universitas Res Publika (sekarang Trisakti), Jakarta, 1962-1965

8)      Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, 1964-1965

Penghargaan

1)      Freedom to write ward dari PEN America Center, As, 1988

2)      Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989

3)      Wertheim Award, “for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesiaan people”, dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995

4)      Ramon Magsaysay Award, “for journalism, Literature, and Creative Arts, in recognition of his illuminating with brilliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people”, dari ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995

5)      UNESCO Madanjeet Singh Prize, “in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence” dari UNESCO, Perancis, 1996

6)      Doctor of Humane Letters, “in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, and his example principled struggle for intellectualfredom” dari Universitas Callifornia, Berkeley, AS, 1999

7)      Chevalier de I’Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre Ia Culture et de Ia Communication Republique, Paris, Perancis, 1999

8)      New York Foundation for the Arts Award, New York, 2000

9)      Fokuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000

10)  The Norwegian Authors Umion, 2004

11)  Centenarion Pablo Neruda, chill, 2004

Drama Mangir sendiri ditulis oleh Pram yaitu ketika ia sedang di penjara di Pulau Buru yaitu pada tahun 1976. Unsur yang ditonjolkan dalam kisah Mangir Pram yaitu ia menghilangkan unsur mitologi Jawa yang telah ada dalam cerita Mangir yang beredar di masyarakat. Hal tersebut dilakukan karena cerita mangir yang beredar di masyarakat sangat erat dengan Feodalisme dan Kolonialisme peninggalan masyarakat Jawa.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi Pram untuk melakukan penulisan ulang terhadap kisah Mangir. Pertama, Pram hidup dan besar di lingkungan tradisi Jawa yang sangat mengikat, karena itu tidaklah mustahil jika Pram membuat sebuah cerita versi dia sendiri mengenai perjalanan sejarah kerajaan Mataram dan perdikan Mangir. Kedua, berdasarkan tulisan-tulisan Pram yang lain ia memberi kesan “ketidaksukaan”nya terhadap hal-hal yang irasional, yang terlalu berkaitan dengan fetis dan mitos-mitos, dalam hal ini kebudayaan Jawa. Bolehlah jika memiliki kesopanan dan pekerti ketimuran—Jawa. Tetapi dari segi pemikiran hendaklah kita memilih pemikiran barat yang maju, skeptik, kritis, dan kreatif. Ketiga, Pram adalah seorang yang berideologi realism, sosialis, terutama dalam hal pandangan mengenai pentingnya realitas baik dalam pengalaman langsung maupun dari sumber sejarah yang telah terjadi (Kurniawan, dalam Kandati, Juliardgi 2006: 4-5), yang merupakan hasil tempaan ketika berada pada Lemabaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Filsafat Prancis sangat mempengaruhi Pram dalam menuliskan karya-karyanya yang realis yang merupakan penolokan terhadap hal yang tak rasional dan meramunya dengan penuh penghayatan dalam konteks lokal (Djokosujatno, dalam Kandati, Juliardgi 2006: 5). Keempat, Pram sangat dekat dengan sejarah. Hampir seluruh karyanya menyuarakan tentang fakta sejarah dan kaum yang terpinggirkan yang berbeda dengan doktrinasi para penguasa, mungkin karena Pram sendiri adalah korban Indonesia yang sangat pahit ditambah dengan pemikiran realism sosialis dalam diri Pram yang melukiskan kenyataan dalam perkembangan revolusionernya, selaras dengan kebenaran dan fakta sejarah. Georg Lukacs, pakar Hungaria dalam roman sejarah mengatakan bahwa roman sejarah menjadi “wadah untuk menyusupkan pelajaran politik, moral, dan intelektual yang berguna sepanjang masa” (Djokosujatno, dalam Kandati, Juliardgi 2006: 5).

Tujuan Pram menuliskan Kembali Drama Mangir yaitu untuk dibaca, dipentaskan, dan dipahami nilai-nilai yang terkadung dalam naskah Mangir. Pram menuliskan secara rinci tokoh-tokoh dalam Drama Mangir mulai dari kostum, gerak-gerik tiap tokoh, hingga sifat-sifat tokoh yang disampaikan secara implisit. Mengartikan bahwa ia sengaja mempermudah sutradara dalam mementasakan naskah tersebut. Pram merupakan penulis yang anti Feodalisme, Kolonialisme, atau Patraiarki. Selalu setiap tokoh yang dihadirkan pada tiap karyanya bersuara kemanusiaan. Kiprahnya dalam penulis mendapat banyak sekali penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Terbukti dengan diaraihnya beberapa penghargaan, seperti  Freedom to write ward dari PEN America Center, As, (1988), Centenarion Pablo Neruda, chill (2004), dan lain sebagainya.

 

RINGKASAN PLOT/ALUR

Sumardjo dan Saini K.M (dalam Kandati, Juliardgi 2006: 12) menyatakan bahwa intisari alur adalah koflik. Tetapi, suat konflik dalam karya sastra tidak bisa tiba-tiba di paparkan begitu saja karena ada serangkaian elemen yang berkaiatan sehingga munculnya konflik. Elemen-elemen tersebut (1) pengenalan, (2) timbulnya konflik, (3) memuncak, (4) klimaks, dan (6) peenyelesaian. Konflik dalam karya sastra digambarkan sebagai petarungan antara protagonis dan antagonis. Protagonis adalah tokoh utama cerita, sedangkan antagonis merupakan oposisi dari protagonis. Antagonis tidak selalu berupa manusia atau makhluk hidup lain, tetapi bisa situasi tertentu, alam, Tuhan, kaidah moral, kaidah sosial, dirinya sendiri dan sebagainya. Jadi kunci untuk mencari alur yaitu dengan menemukan terlebih dahulu apa yang menjadi konfliknya. Dengan demikian untuk menemukan konflik, pembaca harus membaca keseluruhan karya tersebut. (Sumardjo, J dan saini K.K., dalam Kandati, Juliardgi 2006: 12-13)

Pengaluran Drama Mangir terjadi pada masa Ki Ageng Mangir III (Wanabaya III) yaitu terjadinya konflik antara Mangir dengan Kerajaan Mataram. Penceritaan dimulai pada konflik yang terjadi pada para tetua Mangir yang mempermasalahkan sikap Ki Ageng Mangir (Wanabaya) yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan bersama. Sekalipun situasi di mangir sedang dalam ancaman. Perang yang telah terjadi anatara Mangir dengan Kerajaaan mengakibatkan kewaspadaan para tetua Mangir. Takut tiba-tiba pasukan Mataram menyerang. Termasuk dengan Wanabaya yang seharusnya siap siaga, Karen ditakutkan tiba-tiba pasukan Matram Menyerang. Itulah yang diinginkan oleh para tetua Manggir karena posisi Wanabaya sebagai ketua pasukan Mangir. Tetapi yang terjadi sebaliknya Wanabaya malah mementingkan dirinya sendiri. Demaang Pandak dan Demang Patalan sangat marah dan menentang sikap Wanabaya, namun Demang Panjangan dan Demang Jodog malah bertoleransi terhadap sikap yang dilakukan oleh Wanabaya.

Pertentangan 1

Demang Jodod            : Dan masih menari dia di sana seperti gila, laksana merak jantan,   kembangkan bulu kejantanan dan ketampanan; mengigal mengge’re’ki si Adisaroh penari. Panatalan tidak setuju.

Demang Pantalan        : Istirahperang bukan mestinya berganti dengan gila menari, biar

 Pun Adisaroh secantik Dewi.

Demang Jodog            : Beri dia kesempatan—seorang perjaka tampan, berani—tangkas di     medan perang, licah di medan tari, baru lepas brahmacarya karena kemenangan. Beri dia kesempatan.

(halaman 16)

Pertentangan 2

Demang Pandak          : (pergi ke meja, mengambil gendi dan minum). Panas badan melihat Ki   Wanabaya lupa daratan.

Demang Pajangan       : (pergi ke meja, mengambil gendi dari tangan Pandak). Panas kepala ini , melihat Adisaroh hanya mau layani Ki Wanabaya.

(halaman 17)

Pertentangan 3

Demang Pantalan        : (mengikuti Demang Jodog dan menyalahkan). Lupa perang belum selesai, kemenangan mutlak belum lagi di tangan.

Demang Jodog            : Klinting! – seorang perjaka tampan dan bergaya, menang perang   berlepas brahmacarya, lelah perang baru perang dari medan – apakah dia tidak berhak bersuka?

(halaman 19)

Para tetua meminta saran dari Baru Klinting, sang pria arif dan bijaksana. Disuruhnya Wanabaya masuk ruangan oleh baru Klinting. Para tetua menjadi berubah pandangan saat Wanabaya datang ke  ruangan.

Baru Klinting dan Demang Pandak    : (terbeliak)

Demang Pandak          : Nah kau lihat sendiri, Panjangan.

Demang Jodog            : Benar aku keliru. Yang begitu tak dapat ditenggang.

Demang Panjangan     : (menepuk Demang Jodog). Bagaiman bisa jadi begitu?

(halaman 24)

Para tetua marah karena Wanabaya malah bergandengan tangan dengan Adisaroh yang merupakan Putri Pembayun yang sedang menyamar menjadi penari ledek. Langsung ditanyakan keseriusan, janji, serta abdinya terhadap tanah Mangir. Karena di saat mangir sedang dalam ancaman Wanabaya memilih bersenang-seang dengan penari ledek Adisaroh. Wanabaya yang sudah terpedaya dengan kecantikan Adisaroh meminta izin kepada Baru Klinting untuk menikahi Adisaroh.

Wanabaya       : Inilah Ki Ageng Mangir muda Wanabaya, datang menggandeng tandak tanpa  tandingan. (Menatap mereka seorang demi seorang). Tak ada yang menyambut Ki Wanabaya? Baik Adisaroh yang jaya, berilah hormat pada tetua perdikan.

(halaman 25)

Wanabaya       : (menggandeng Putri Pembayyun mengahampiri Baru Klinting): Lihatlah ini, klinting, Ki Ageng Mangir Muda datang padamu menggandeng dara waranggana, untuk dapatkan anggukan kepala darimu, dari Baru Klinting sang bijaksana.

(halaman 30-31)

Hal tersebut membuat para tetua Mangir marah dan tidak menyukai apa yang yang telah diperbuat oleh Ki Ageng Mangir (Wanabaya) hal tersebut dikarenakan ditakutkan Mataram tiba-tiba menyerang. Dan belum tahu siapa sebenarnya Adisaroh itu. Maksud para tetua bukan melarang Ki Ageng untuk menikah, tetapi menunda niat dia untuk menikah. Hal tersebut dikarenakan Mangir sedang gawat, takut tiba-tiba mendapat serangan dari Mataram. Dan mangir harus mempersiapkan perang untuk menaklukan Mataram.

Baru Klinting : Seperti Mataram miskin puti rupawan. Bedah dulu keratonnya dan kau

 boleh   pondong semua perawannya.

(halaman 31)

Baru Klinting  : Memalukan—seorang panglima, karena kecantikan perawan telah relakan perpecahan. Berapa banyak perawan cantik di atas bumi? Setiap kali kau tergila-gila seperti seekor ayam jantan, tahu sarang tapi tak kenal kandang.

(halaman 39)

Setelah melalui beberapa negosiasi dan pergulatan batin. Para tetua Mangir dan Baru Klinting menyetujui Ki Ageng Mangir (Wanabaya) menikah dengan penari ledek bernama Adisaroh (yang merupakan Putri Pembayun yang menyamar). Tetapi Baru Klinting melihat bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan Adisaroh dan rombongannya. Karena tidak sewajarnya masyarakat desa, tidak tuturnya mirip orang kerajaan.

Demang pandak          : Baru Klinting, bukankah patut sudah dia dapat anggukan? Tunjukan matamu Wanabaya pada Klinting, kau, Wanabaya.

Baru Klinting              : Lihatlah aku. (mengangguk perlahan-lahan).

Baru Klinting              : Pergi kau dapatkan pengantinmu.

Wanabaya                   : (ragu meninggalkan panggung dalam iringan mata semua

yang ditinggalkan).

Baru Klinting              : Kita semua masih curiga siapa waranggana dan rombongannya.

Kalau ada suriwang, dia akan bilang: Ai-ai-ai memang tak bisa lain. Tanpa Wanabaya cerita akan mengambil suara lain. Dilarang dia pun akan berkembang lain. Pukul tengara, tanda petanda pesta panen boleh dibuka.

(halaman 46)

Dengan beriringnya waktu konflik pun terus terjadi mulai dari Adisaroh yang merupakan Putri Pembayun. Setelah menikah beberapa bulan dengan Wanabaya akhirnya ia hamil. Serta ia menjadi bimbang karena sebenarnya niat ia ke Mangir adalah untuk menjebak Wanabaya. Tetapi setelah beberapa bulan tinggal di Manggir Adisaroh pun lebih suka tinggal di Mamgir karena di Manggir ia lebih bahagia dari pada di Mataram yang merupakan tanah kelahirannya. Tetapi ia juga tidak bisa ingkar terhadap janji yang telah disepakati dengan ayahandanya yaitu membawa Wanabaya ke Mataram. Tetapi rasa cinta pada Wanabaya membuatnya tidak tega, sehingga tiba waktuya Tumenggung Madaraka datang ke mangir menyamar menjadi tukang kebun dengan membawa cangkul untuk menagih janji kepada Adisaroh atau Putri Pembayun. Kedatangan Tumenggung Madaraka menimbulkan kecurigaan pada orang-orang Mangir.

Tumenggung Mandaraka        : Terpaksa nenenda datang kini untuk menagih janji.

Putri Pembayun                       : Dia datang menagih janji.

Tumenggung Mandaraka        : Bukankah darah satria tak patut diperingatkan? Dan janji ditepati  seperti matari pada bumi setiap hari.

(halaman 55)

Puti Pembayun menolak janji yang telah disepakati. Karena ia mempunyai prasangka bahwa jika Wanabaya dan ia ke Mataram pasti ia akan kehilangan suaminya. Karena dia telah merasa bahagia hidup bersama Wanabaya. Menurutnya cinta lebih berharga dari sekadar tahta.

Putri Pembayun           : Takan biarkan bayi ini tiada berbapa.

(halaman 66)

Putri Pembayun           : Dengan jiwa suami pembayun tebusannya. (Memekik) Tidak! suamiku lebih berharga dari empat tahta.

(halaman 67)

Putri Pembayun terus dirayu oleh Tumengung Mandaraka bahawa tanah perdikan Mangir akan dikukuhkan, maka tidak akan lagi akan permusuhan antara Mataram dengan Mangir. Oleh karena itu, Putri Pembayun menjadi bimbang atas ucapan Tumennggung Mandaraka. Kemudian saat Wanabaya datang Putri Pembayun akhirnya jujur bahwa sebenarnya dia itu pun Adisaroh sang penari ledek yang ucapkan beberapa bulan lalu. Tapi ia adalah Putri Pembayun anaknya panembahan Senopati yang menyamar menjadi seorang penari ledek bernama Adisaroh.

Putri Pembayun           : Tidakah kakang kan kecewa dengan permohonanku.

(halaman 75)

Putri Pembayun           : Ampuni istrimu ini. Sekarang baru aku katakana, sedang kakang sela perang.

(halaman 77)

Putri Pembayun           : (Menghadap pada Wanabaya). Inilah aku, Adisaroh istrimu, dari seberang kali Gajah Wong di dalam benteng.

(halaman 79)

Putri Pembayun           : Inilah aku, Pembayun, Putri Permaisuri Mataram.

(halaman 80)

Mendengar pengakuan Adisaroh (Putri Pembayun) atau istrinya tersebut Wanabaya menjadi sangat marah. Hingga ia bercerita kepada Baru Klinting dan Baru Klinting pun sangat marah. Namun cinta Wanabaya melebih rasa kesalnya terhadap Pembayun.

Wanabaya       : (Menengadah ke langit, pelan-pelan berdiri, meronta kasar Pembayun, dengan tangan gemetar menarik keris di tentang perut). Ah! (keris disarungkannya lagi. Mengangkat tangan menutupi kuping). Klinting (gemetar suaranya) Baru Klinting. Betapa lama. Ke mana kau? (melangkah cepat ke samping, berseru): Klinting! (kembali ketengah panggung). Ah, Klinting. Tak pernah kita berpisah mkecuali demi perempuan ini (menuding pada Putri Pembayun). Tak pernah berpisah, laksana petir dengan guruh, seperti bahu dengan tinju. Hanya karena kau, perempuan Mataram, perempuan pendusta, kemana kau sembunyikan mukaku ini? (menengadah ke langit). Kau, kau yang punya hidup, kau yang punya mati, tunjukan padaku suatu tempat, di mana dapat kutaruh mukaku ini. (Merebah dada). Jagad Dewa. Jagat Pramudita…

Putri Pembayun           : (berdiri, menghampiri). Tiada kau hukum aku? Bumi dan langit dapat dapat ingkari, inilah Putri Pembayun Mataram istrimmu, inilah bayi dalam kandungan anakmu, dua-duanya tetap bersetia kepadamu…

(halaman 81)

Baru Klinting              : Bedebah! Kau kira ini keratin Mataram! Kata-katamu pongah bernada tinggi.

(halaman 87)

Baru Klinting              : Berperisai kau selalu pada suamimu. Dia pun patut dihukum mati.

(halaman 89)

Janji perdamian yang dari Mataram akhirnya disetujui oleh Baru Klinting. Sekitar seminggu lagi para masyarakat Mangir akan pergi ke Mataram untuk menagih janji dan mengantaarakan Ki Ageng Mangir meminta restui dari mertua.

Baru Klinting  : Baik, seluruh kekuatan dikerahkan masuk ke benteng Mataram. Patalan! berangkat kau sekarang juga ke Mataram, kibarkan tinggi bendera mangir pertanda duta. Sampaikan, pada hari yang sama minggu mendatang, Ki Ageng Mangir Muda Wnabaya dan istri, putri Pembayun, akan datang sembah-bakti pada panembahan Senapati. (berpaling pada Wanabaya) Berperisai kalian berdua, kita akan langsung menyerang istana. Tetap kau pada pendirianmu, Nyi Ageng Mangir Muda?

(halaman 91-92)

Sementara di Mataram dipersiapkan penyambutan Putri Pembayun dan Ki Ageng Mangir. Peyambutan tersebut bukan penyambutan kekeluargaan tetapi strategi Tumenggung Mandraka untuk membunuh Ki Angeng Mangir dan pendudukan Mangir. Segalanya mereka siapkan untuk sebuah drama pembunuhan Ki agenng Pamanahan. Karena tidak setuju dengan cara yang akan diambil oleh anaknya Panembahan Senopati. Menurutnya strategi adiknya yaitu Temenggung mandaraka tidak patut untuk dilakukan. Ki Ageng Pamanahan lebih menyarankan cara perdamaina dan menerim Ki Ageng Wanabaya dalam keluarga Mataram. Karena cara yang dilakukan oleh anaknya Panembahan Senopati sungguh diluar batas wajar. Panembahan Senopati rela menngorbankan ankanya sendiri demi sebuah tahta.

Di tengah perseteruan tersebut mangir mengetahui siasat buruk Mataram. Sehingga terjadilan pertempuran antara Mataram dengan mangir.

Panembahan Senopati : (berdiri curiga). Tak ada sorak dalam acara. Dengarkan, kalian, tiadakah itu sorak-sorai?

(halaman 128)

Tumenggung Mandaraka        : Celaka! Anakanda baginda, (meninggalkan panggung).

Tumenggung Mandaraka        : Gamelan keraton adalah perintah penyerangan. Celaka! Sisa  balatentara Mangir kini membela diri.

(halaman 133)

Pertarungan telah terjadi dan tak terhalaukan lagi. Prajurit membawa Putri pembayun kedalam keraton disusul oleh Wanabaya dan dikuti oleh Baru Klinting dan disusul dibelakang mereka Demang Patalan. Mereka berniat untuk membunuh Panembahan Senopati. Tetapi sebelum mereka membunuh Panembahan Senopati mereka dihujani tombak oleh para prajurit mataram.

Wanabaya                   : (ragu; mengalihkan sasaran)

Pangeran Purbaya       : (melompat, menikam pada lambung Wanabaya)

Wanabaya                   : (Keris terlepas dari tangan). Raja dari segala dusta.

 (dihujani oleh prajurit-prajurit pengawal dari belakanng; rebah)

(halaman 140)

Akhirnya para pasukan Mangir semuanya gugur, Panembahan Senopati dan para Tumenggung Mataram tertawa atas kemengan mereka. Tetapi Putri Pembayun bersedih atas kematian suaminya Wanabaya.

Putrid Pembayun        : (Pada Wanabaya). Mari kang, mari aku antarkan tinggalkan tempat ini. Mari, mari Kang, mari. Bukankah Pembayun isterimu yang sejati? (berteriak). Mari, mari, mari.

(halaman 141)

Kisah Drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer ini  dipaparkan secara implisit melalui dialog anatar tokoh. Tokoh Suriwang dan baru Klinting membuka naskah ini dengan percakapan yang membuat tegang. Konflik terus berkembang mulai Dario penyamaran Putri Pembayun menjadi Adisaro, penikahan Wanabaya dengan Adisaroh, hingga perseteruan antara Mangir dengan Mataram. Alur dalam cerita ini berjalan lurus. Namun diakhir cerita digantung dan tidak dijelaskan nasib dari Putri pembayun. Apakah dia gila? Bunuh diri? Menikah kembali dengan pangeran lain? Atau menjalani hidup sebagai seorang janda.

 

KARAKTER

Karakter atau tokoh adalah elemen yang penting dalam sebuah cerita. Tokoh merupakan menjadi objek pada sebuah cerita.  Tokoh atau penokohan sangat hubungan dengan watak atau perwakatakan yaitu sifat-sifat dari tokoh. Sifat tersebut baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Perwatakan  setiap tokoh dapat terlihat dari dialog antar tokoh. Menurut Suroso (2015: 12) berdasarkan peran terhadap jalan cerita terdapat tokoh protagonis, antagonis, dan tritragonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung cerita atau dapat dikatakan sebagai tokoh utama. Tokoh utama ini biasanya dibantu oleh beberapa tokoh lain yang terlibat dalam cerita. Tokoh antagonis, adalah tokoh yang menentang cerita. Biasanya ada satu tokoh antagonis dan beberapa pembantunya yang menentang cerita. Tokoh tritagonis yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonist maupun untuk tokoh antagonis.

Berdasarkan peranya dan fungsinya dalam lakon sentral, utama, dan tokoh pembantu. Tokoh sentral adalah tokoh yang paling menentukan gerak lakon, tokoh utama, tokoh penentang, dan pendukung tokoh sentral. Tokoh pembantu, yaitu tokoh yang memgang peran pelengkap atau tambahan dalam rangkaiaan cerita. (Suroso, 2015: 12).

Berdasarkan hasil analisis tokoh utama dalam drama Mangir yaitu: Ki Angeng Mangir (Wanabaya), Putri Pembayun, Panembahan Senopati, Temenggung Mandaraka (Ki Juru Martani). Sedangkan tokoh tokoh pembantu dalam drama mangir yaitu: Baru Klinting, Ki Ageng Pamanahan, Suriwang, Kimong, Demang Jodog, Demang Patalan, Demang Pandak, Demang Pajangan, Tumenggung Jagaraga, Tumenggung Pringgalaya, pangeran Purbaya, dan beberapa prajurit Mataram.

Sedangkan berdarkannya fungsinya tokoh protagonis yaitu Ki Ageng Mangir (Wanabaya) sedangkan tokoh antagonis Panembahan Senopati. Tokoh pendukung protagonis yaitu Baru Klinting, Suriwang, Kimong, Putri Pembayun, Demang Panjangan, Demang Pandak, Demang Patalan, Demang Jodog, merupakan tokoh pembantu Ki Ageng Mangir. Sedangkan Tumenggung Mandaraka, Tumenggung Jagaraga, Tumenggung Pringgalaya, Pangeran Purbaya, dan Ki Ageng Pamanahan merupakan tokoh-tokoh pendukung Panembahan Senopati.

Berikut Deskripsi setiap tokoh:

1)      Ki Ageng Mangir (Wanabaya)

Ki Ageng Mangir adalah cucu dari Ki Ageng Mangir 1 (Wanabaya 1). Seorang pemuda berumur kira-kira 23 tahun. Seorang pendekar tangguh, pemberani, tampan, tinggi, gagah, dan dituakan di daerah perdikan Mangir. Setelah memenangkan pertempuran antara Mangir dengan mataram. Ki Ageng Mangir (Wanabaya) bertemu dengan seorang penari ledek dan jatuh cinta padanya. Perempuan tersebut bernama Putri Pembayun (yang menyamar menjadi penari ledek bernama Adisaroh).

Putri Pembayun           : (memasuki panggung, bergenggaman tangan, teracukan secara demonstrative ke depan untuk dilihat semua orang).

Wanabaya                   : Inilah Ki Ageng mangir muda Wanabaya, datang menggandeng tandak tanpa tandingan.

(halaman 25)

Ki Ageng Mangir sangat tergila-gila dengan kecantikan Adisaroh (Putri Pembayun) yang merupakan penari ledek. Tetapi Ki Ageng mendapatkan pertentangan dari para Demang tetua Mangir tentang layak tidaknya dia menikah di saat situasi sedang genting. Tetapi ketika Ki Ageng di tentang timbulah sifat sombong dia. Mengungkit jasa dia atas kemenangan pertarungan Mataram lawan Mangir.

Wanabaya       : Kalau bukan aku yang memimpin perang, sudah kemarin dulu kalian terkapar di bawah rumput hijau.

(halaman 27)

Kesetiannya kepada perdikan tidak dapat dielakan lagi. Wanabaya akhirnya mendapatkan restu untuk menikah dengan Adisaroh. Wanabaya menjelama suami yang siap siaga dan sangat mencintai istrinya.

Wanabaya       : Kau melamun, adikku kekasih. Apakah tersinggung hatimu kularang menenun dan mengantih? (berdiri di hadapan Putri Pembayun).

(halaman 49)

Bahkan Ki Ageng Mangir (Wanabaya) sangat mengerti keinginan sang istri, siap siaga memenuhi segala keinginnya.

Wanabaya       : Batu akan segara tiba, sebentar lagi akan segera jadi kolammu untuk tambra. Senangkah kau pada ikan, Adisaroh?

(halaman 73)

Ki Angeng Mangir (Wanabaya) sangat terkejut dan marah atas pengakuan Adisaroh yaitu putri Pembayun dari Mataram yang merupakan musuh Mangir. Bahwasanya ia menyamar menjadi seorang penari ledek. Pada awalnya Wanabaya pernah menaruh curiga terhadap istrinya karena tingkah lakunya yang sangat berbeda dengan pengakuannya waktu itu sebagai perempuan desa. Adisaroh suruh tahu sopan santun, mirip perempuan-perempuan keraton.

Wanabaya       : (jatuh berlutut pada satu kaki, dua belah tangannya terlunglai dan jari-jemari menggelatar). Putrid pembayun Mataram (meneleng lirikan pada Putri Pembayun, yang masih juga merangkul menggelesot pada kaki-nya)

(halaman 80-81)

Setelah Wanabaya mengetahui bahwa istrinya berdusta ia sempat ingin membunuh istrinya. Tetapi rasa cintanya kepada Pembayun telampau lebih besar dari marahnya. Hinga akhirnya wanabaya menyangupi bahwa ia bersedia pergi ke Mataram untuk meminta restu dari ayah mertuanya. Tapi sayangnya Wanabaya dibunuh di Mataram oleh Pangeran Purbaya.

2)      Putri Pembayun

Putrid Pembayun adalah anak dari penembahan Senopati. Kira-kira berumur 16 tahun. Ditugaskan oleh ayahnya menjadi seorang telik (mata-mata) Mataram untuk Mangir. Putri berserta Tumenggung menyamar menjadi seorang pelaku kesenian Ledek dengan Putri Pembayun menjadi penarinya. Putri Pembayun menyamar berubah nama menjadi Adisaroh. Pada pandangan pertama ketika bertemu dengan Wanabaya Putri Pembayun sudah jatuh hati duluan. Karena pesona ketampanan, dan kegagahan Wanabaya.

Tumenggung mandaraka         : Bukankah benar ki Wanabaya jatuh cinta  tergila-gila, tergenggam di tangan cucunda?

Putrid Pembayun                    : sahaya yang jatuh cinta padanya pada pandangan pertama.

(halaman 57)

Putri pembayun akan dinikahi oleh Ki Ageng Mangir atau Wanabaya. Tetapi ketika Wanabaya meninta izin kepada Baru Klinting dan para tetua Mangir mendapat hadangan dari para tetua Manggir karena tidak setuju Wanabaya menikah. Selain itu, baru Klinting merasa curiga terhadap tingkah laku Putri Pembayun (Adisaroh) karena tutur katanya yang sopan, dan tenang saat mendapat pertanyaan yang pedas dari Baru Klinting dan para tetua Mangir. Sikapnya tersebut hamper saja membongkar jati dirinya.

Putri Pembayun           : (tanpa ragu-ragu), inilah diri ini, dalam gandengan Ki Ageng Mangir Muda Wnabaya. Telah diulurkan tanganya padaku, dan aku menyambutnya. Apalagi masih dikatakan? Hendak diambilnya aku untuk dirinya sendiri semata.

(halaman 35)

Akhirnya Wanabaya pun mendapatkan izin dari para tetua Mangir dan Baru Klinting. Walaupun mereka masih menaruh curiga kepada Putri Pembayun. Setelah menikah Kemudian Putri Pembayun pun menjelma orang orang desa. Ia lebih menyukai menjadi orang desa dari pada menjadi puti di Mataram. Karena di desa ia dapat bergerak bebas tanpa larangan Panembahan Senopati dan Tumenggung.

Puti Pembayun            : Kakang, diriku seperti hidup di sorga, tanpa duka tanpa sengsara, setiap hari bersuka semata.

(halaman 49)

Putri pembayun menjadi semakin cinta kepada tanah Mangir karena di Mangir tidak ada gangguan bahkan para perempuan diperlakukan secara semestinya perempuan. Bahkan walaupun ia memiliki tugas dari ayahnya. Ia hampir melupakan tugas ia pergi ke Mangir. Sehingga timbullah gejolak batin dalam diri Putri Pembayun. Bahkan gejolak batin tersebut terasa ketika Tumenggung Mandaraka datang untuk mengingatkan tugas pergi ke tanah mangir.

Tumenggung Mandaraka        : Cucunda pasti belum lupa: Panggilan dari Wanabaya Muda, tak lain dari pertanda, dia sudah bebas berbrahmacarya, akan segera jatuh dalam kekuasaanm, untuk segera dipersembahkan, hidup atau mati kehadapan baginda.

Cinta pembayaun terhadap Wanabaya tidak bisa dielakan lagi. Cintanya setia dan suci. Ia sudah mencintai tanah Mangir yang dia singgah beberapa bulan. Bahkan pembayun rela mati demi suaminya. Karena di perdikan Mangir dia mendapatkan kebahagiaan.

Putri Pembayun           : tak bercerai kita, kakang Wanabaya, dalam hidup dan dalam mati.

(halaman 91)

Pembayun sangat marah terhadap Mataram karena telah membunuh suami yang dicintainya.

Putri Pembayun           : (pada Wanabaya). Mari, kang, mari aku antarkan tinggalkan tempat ini. Mari, mari kang, mari. Bukankah Pembayun istrimu yang sejati? (Berteriak). Mari, mari, mari.

Diakhir cerita Pembayun tidak dijelaskan nasib selanjutnya oleh penulis. Apakah Pembayun menjadi gila Karena ditingal mati oleh suaminya? Apakah Pembayun hidup normal dan menjadi janda? Apakah pembayun menikah lagi dengan pangeran yang dijodohkan oleh ayahnya? Atau pembayun mati karena sakit atau bunuh diri? Semuanya menjadi tanda tanya. Karena penulis tidak menuntaskan nasib selanjutnya Putri Pembayun.

3)      Panembahan Senopati

Panembahan Senopati adalah raja dari kerajaan Mataram. Kira-kira ia berumur 45 tahun. Seorang raja yang serakah akan kekuasaan. Ia rela membunuh siapa saja yang menghalanginya dalam berkuasa. Bahkan panembahan Senopati rela membunuh membunuh ayah angkatnya yang membesarkannya dari kecil.

Baru Klinting              : Masih belum kenal kau apa itu raja? Raja jaman sekarang? Masih belum kenal kau Panembahan Senopati? Mula-mula membangkang pada Sultan Pajang ayah angkat yang mendidik-membesarkannya., kemudian membunuhnya untuk bisa marak jadi raja Mataram? Adakah kau lupa Trenggono naik tahta, hanya melalui bangkai abangnya? Apakah kau sudah pikun tak ingat bagaimana Patah memahkotai dirinya dengan dusta, mengaku putra Sri Baginda Bhree Wijaya?

(halaman 8)

Bahkan panembahan senopati rela membunuh anak sendiri, hanya gara-gara tidak patuh.

Putri Pembayun           : Jangan membunuh dan mengkhianati! (terjerit dari balik telapak tangan). Mengerti saya kini, mengapa kanda Rangga, Putra pertama dari ibu Jipang-panolan, puta ayahanda sendiri, dibunuh oleh ayahanda, digantung pada puncak pohon ara.

(halaman 58)

Begitu jahat dan kejam Panembahan Senopati hidup dari kedengkian. Ia tidak suka jika Putri Pembayun lebih memilih suaminya dari pada Mataram. Tetapi Panembahan Senopati adalah kesatraia yang licik. Ia mennyuruh Pangeran Purbaya menikam dari belakang. Sehingga dapat dikatan seorang pengecut.

4)      Baru Klinting

Baru Klinting adalah tokoh dari Mangir yang sangat cakap dalam medan perang, ahli strategi, dan pemikir ulung Perdikan Mangir. Baru Klinting menjadi salah satu tetua Mangir yang bijaksana. Walaupun umurnya masih begitu muda kira-kira 26 tahun tapi tidak memperlihatkan kemudaannya. Baru Klinting ingin tetap mempertahankan perdikan mangir ini seoeri yang dahulu dan tak mau mengubahnya menjadi sebuah Kerajaan. Karena menurutnya sistem kerajaan itu kotor dan licik.

Baru Klinting              : masih belum kenal kau apa itu raja? Raja jaman sekarang? Masih belum kenal kau Panembahan Senopati? Mula-mula membangkang pada Sultan Pajang ayah angkat yang mendidik-membesarkannya., kemudian membunuhnya untuk bisa marak jadi raja Mataram? Adakah kau lupa Trenggono naik tahta, hanya melalui bangkai abangnya? Apakah kau sudah pikun tak ingat bagaiamana Patah memahkotai dirinya dengan dusta, mengaku putra Sri Baginda Bhree Wijaya?

(halaman 8)

Ketika Baru Klinting mengetahui bahwa Adisaroh sebenarnya adalah Putri Pembayun dari Mataram ia sangat marah dan hendak membunuh Adisaroh dan Wanabaya. Tetapi baru Klinting ingat bahwa jika Wanabaya mati maka dia pun akan mati karena telah bersumpah Brahmacarya.

Putri Pembayun           : juga kau sendiri, yang bersumpah satu hidup dan dalam mati dengan Ki Wanabaya.

Baru Klinting              : (terperanjat). Di mataram mereka tahu brahmacaraya dan sumpah merapi, satu  dalam hidup dan dalam mati. Kau telik ulung yang tahu segala, hendak mati mengajak bertiga..

(halaman 89)

Baru Klinting dijebak di mataram dan akhirnya mati oleh tangan Panembahan Senopati yang menombak dari belakang.

Baru Klinting              : (menangkis serangan dari Tumenggung Jagaraga dan Tumenggung Pringalaya untuk menyerbu Penembahan Senopati). Raja segala penganiaya..

Panembahan Senopati : (menombak Baru Klinting dari Belakang)

Baru Klinting              : (tersungkur). Be-de-bah!

(halaman 140)

5)      Ki Ageng Pamanahan

Ki Ageng Pamanahan adalah seorang tetua Kerajaan Mataram. Ia adalah ayah dari raja Mataram Panembahan Senopati. Kira-kira Ki Ageng Pamanahan berumur 92 tahun. Ia sukses membangun Mataram hingga menjadi kerajaan yang besar. Ki ageng Pamanahan adalah sosok yang cinta damai. Jadi aia sangat menyesalan keputusan Panembahan Senopati yang mengorbankan anaknya Putri Pembayun guna kepentingan politik.

Ki Ageng pamanahan : Hmm-hmm, kini Wanabaya, suami cucunda tercinta Pembayun Putri. Tega, tega, tega, kau, Ki Juru Martani. (melangkah mau dengan tongkat, pada tangan yang gemetar). Di mana tadi tempat dudukku?

(halaman 97)

Ki Ageng Pamanahan : Hmm-hmm-hmm, bukankah juga seperti kita, dia bercinta, ingin mata hanya pada usia tua.

(halaman 98)

Ki Ageng Pamanahan merasa sangat sedih dengan keputusan Panembahan Senopati dan para Tumenggung karena rela mengorbankan cucunya Putri Pembayun hanya karena kekuasaan. Padahal  Ki Ageng Pamanahan mengharapakan perdamaian antara Mangir dengan mataram. Tapi sayangya menimpa Ki Agemg Pamanahan ia tewas sewaktu pertempuran mataram dan mangir.

Ki Ageng Pamanahan : (kehilangan keseimbangan). Ya-ya-ya. (tongkat jatuh, tangan gerayangan mencari tunjangan, jatuh ke lantai). Hmm-hmm-hmm. Ya-ya-ya. (tak bangun lagi).

(halaman 139)

6)      Tumenggung Mandaraka (Ki Juru Martani)

Tumenggung Mandaraka adalah otak dari segala taktik Kerajaan Mataram. Mulai dari dikorbankannya Putri Pembayun, dibunuhnya anak lelaki Panembahan Senopati yang bernama Rangga, hingga penipuan penyambutan Mangir di Mataram. Tumenggung Mandaraka mempunyai julukan Ki Juru Martani. Ia kira-kira berumur 90 tahun. Beberapa tahun lebih muda dari Ki Ageng pamanahan. Ia merupakan adik dari Ki Ageng Pamanahan yang berarti paman dari panembahan Senopati. Otak licik Mataram berasal dari Ki Juru Martani yang merupakan penasihat Mataram. Bahkan sewaktu dalam pengembaraan ke Mangir sebagai terlik (mata-mata). Ki Juru Martani ikut dan berperan sebagai bapak dari Adisaroh.

Strategi Ki Juru Martani kurang disukai oleh Ki Ageng Pamanahan karena ia berstrategi licik dan kotor. Sehingga sering terjadinya perbedaan pendapat antara mereka berdua. Tapi Panembahan Senopati selalu nurut terhadap usulan dan strategi dari Ki Juru Martani.

Tumenggung Mandaraka        : tiadakah kau banga, Putra adinda raja yang pertama? Dulu impian sekarang kenyataan. Mengapa adinda jadi termangu? Bukankah mataram bakalnya tinggal berkembang? Akarmi menacap di perut bumi, batang mulai tumbuh mencakar awan, bunga dan buah sudah Nampak di depan?

Ki Ageng pamanahan             : Ya-ya-ya, hmm-hmm-hmm, dan bertambah banyak korban persembahan, dan masih juga kanda baginda menghadapi banyak lawan.

(halamann 96)

7)      Pangeran Purbaya

Pangeran Purbaya adalah anak dari Panembahan Senopati. Ia merupakan anak yang taat dan patuh akan perintah ayahnya. Bahkan ia ikut menjadi telik (mata-mata) ke Mangir karena rasa patuh dan hormatnya kepada panembahan senopati.

Pangeran Purbaya       : (mengankat sembah) sorak-sorai, lelaki dan perempuan, semakin lama semakin riuh

(halaman 128)

Pangeran Purbaya       : (mengangkat sembah) benar yang dipersembahkan nenenda Juru Martani, putra sendiri juga menjadi saksi.

(halaman 129)

Pangeran Purbaya sebenarnya adalah kakak yang baik. Ia tidak mau membunuh adik iparnya yaitu Wanabaya. Tetapi karena ia sangat menghormati ayahnya dan ia rela membunuh Wanabaya dengan cara menikam dari belakang.

Pangeran Purbaya       : (melompat, menikam pada lambung Wanabaya)

(halaman 140)

8)      Demang Panjangan, Demang Pantalan, Demang Jodog, dan Demang Pandak

Demang Pajangan adalah tetua dari Perdikan Mangir. Kira-kira ia berumur 42 tahun. Pada saat Wanabaya meminta izin untuk menikah denga Adisaroh . Demang Pajangan mengizinkan.

Demang Jodod adalah teua Perdikan Mangir yang merestui Wanabaya saat mengandengan Nyi Adisaroh (Putri Pembayun). Sikapnya tenang, dan tidak emosional. Kira-kira ia berumur 55 tahun.

Demang Pandak merupakan tetua Mangir yang emosional, mudah marah, dan tidak merestui Wanabaya saat mengandeng Adisaroh. Karena menginggat situasi sedang genting dan bukan waktinyan bersenang-senang.

Demang Pantalan adalah tertua Mangir yang paling emosional, gegabah, dan tidak menyukai Wanabaya saat mengandeng Adisaroh. Tetapi Demang pamanahan merupakan salah satu demang yang paling berani dianatar demang-demang yang lian.

Wanabaya, Baru Klinting, Demang Pantalan : (masuk panggung dari belakang takhta, masing-masing dengan keris telanjang di tangan)

Demang Pantalan                                            : itu dia Bapak tua bedebah

keparat Mataram!

(halaman 139)

9)      Tumenggung Jagaraga dan Tumenggung Pringalaya

Tumenggung Jagaraga dan Tumenggung Pringalaya adalah pemimpin pasukan Mataram. Mereka berdua juga ikut menjadi telik (mata-mata) ke Perdikan Mangir. Jagaragan kira-kira berumur 36 tahun sedangakan Pringalaya kira-kira beberapa tahun diatas dia. Tumenggung Pringalaya adalah pemimpin yang ceroboh dan gegabah.

Tumenggung Pringalaya         : Terlalu sunyi di tempat ini, maka kuperintahkan segera berbunyi.

Tumenggung Mandaraka        : Celaka! Anakanda baginda. (meninggalkan panggung).

(halaman 133)

10)  Suriwang

Suriwang adalah seorang penombak Mangir yang setia pada Mangir dan Baru Klinting. Kira-kira ia berumur 50 tahun. Mempunyai sifat yang kritis menyikapi permasalah yang ada.

Suriwang         : (menggertak). Kudengar suaramu seperti keluar dari kerongkongan orang Perdikan, bungkuk dan sembahmu benar-benar Mataram

(halaman 9)

Suriwang         : kau anggap gampang menipu perdikan? (Mendenngus menghinakan). Berapa lama kau membudak di istana Mataram?

(halaman 10)

 

 

TEMA

Tema dalam naskah Drama Mangir yaitu tentang sistem Feodalisme. Sistem ini merupakan cikal bakal lahirnya kepemimpinan yang korup dan haus akan kekuasaan. Sehingga melahirkan budaya patriarki dan ketimpangan gender. Dalam  Naskah Mangir sangat terlihat ketimpangan gender yang di alamai oleh tokoh-tokoh perempuan dan juga bentuk ketidakadilan terhadap masyarakat yang dianggap mempunyai jabatan rendah.

Baru klinting   : Semakin banyak tombak kau tempa, semakin banyak kau bicara. Panggil sini orang baru pembikin tangkai tombak itu.

Suriwang         : (berpaling dan melambai). Sini kau orang baru!

Kimong           : (masuk ke panggung, membungkuk, kemudian mengankat sembah): Inilah saya Kimong.

(halaman 9)

Dari lampiran tersebut terlihat bahwa orang yang tidak mempunyai jabatan (rakyat jelata) mempunyai kedudukan yang lebih rendah. Hal tersebut dapat mengakibatan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Sehingga orang yang berkedudukan tinggi dapat sesuka hati menyuruh orang yang berkedudukan lebih rendah.

Demang Panjangan     : Apa guna jadi pria kalau bukan untuk mendapatkan wanita?

Demang Pandak          : Tidak bisa. Untuk sekarang ini, tidak bisa.

(halaman 17)

Kutipan tersebut bermasuk meredahkan kaum wanita. Di mana wanita seolah berupa benda yang pasti akan dimiliki oleh seorang lelaki. Serta merupakan benda yang murah dan mudah untuk didapatkan. Sehingga terjadinya ketmpangan gender wanita dalam era kerajaan.

Munculnya teori feminisme mempunyai tujuan  untuk menyadarakan masyarakat akan kebiasaan-kebiasaan untuk dalam memperilakukan perempuan. Menurut Maggie (dalam Aryani dan Maullina R. 2019: 79). Feminisme adalah sebuah gerakan persamaan hak asasi bagi perempuan dengan ideologi transformasi sosial yang bertujuan menciptakan dunia bagi perempuan. Meskipun pokok utama penelaahan feminisme condong pada perempuan, gerakan ini juga memperhatikan ketidakadilan gender yang dialami semua orang. Menurut Fakih (dalam Aryani dan Maullina, R. 2019: 79) ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana laki-laki dan perempuan menjadi korbannya.

Dalang Patalan            : aku menmgerti, kau tak setuju itu. Tapi Ki Wanabaya bermain birahi, dalam keadaan belum selesai.

Baru klinting               : Untuk bersuka sekadarnya tak ada celananya. Dia berhak sebagai panglima, telah selamatkan kalian semua, kedemangan dan semua rakyatnya.

(halaman 22)

Terlihat pada kutipan tersebut bahwa seorang panglima bisa mendapatkan apa saja yang mereka butuhkan. Karena posisi kedudukan dan jabatan. Sehingga seolah-olah rakyat jelata tidak berhak atas kesenangan dan birahi.

            Permasalahan gender sangat beragam, sehingga sangat teori yang sangat cocok digunakan adalah feminism multicultural. Salah satu bagian dari feminism multikultural yaitu feminism dunia ketiga. Menurut Gandhi (Aryani dan Maullina, R. 2019: 79) feminisme dunia ketiga merupakan tori yang berusaha memukul balik hierarki gender, dan ras yang telah ada dan bersumber dari sistem patriarki atau kolonialisme di masyarakat itu sendiri.

Wanabaya dan Putri Pembayun          : (memasuki panggung, bergenggaman tanga, teracukan secara demostratif ke depan untuk dilihat semua orang)

Wanabaya                                           : inilah Ki Ageng mangir muda Wanabaya, datang mengandeng tandak tanpa tandingan. (menatap mereka seorang demi seorang). Tak ada yang menyambut Ki Wanabaya? Baik Adisaroh yang jaya, berilah hormat para para tetua perdikan.

Putri Pembayun                                   : (tetap dalam gandengan Wanabaya). Inilah Adisaroh Waranggana bayaran, mengembara dari desa ke desa mencari kehidupan. (memberi hormat dengan gerak badan). Di belakang menyusulkan rombongan wiyaga.

(halaman 25)

Terlihat pada kutipan tersebut bahwa seorang rakyat jelata yaitu Adisaroh diharuskan memberikan hormat kepada para tetua yang mempunyai jabatan, hal tersebut terjadi karena adanya jabatan dan kekuasaan diantara para tetua tersebut. Sehingga sistem patriarki sangat terlihat jelas.

Demang pandak                      : membawa wanita milik semua pria.

Tumenggung Mandaraka        : anakku bukan tandak sembarang waranggana, didik baik tahu adab, tertatih tahu sopan setiap waktu, setiap saat.

(halaman 29)

Memperlihatkan bahwa seorang perempuan diibaratkan sebagai barang dagangan. Sehingga dianggap lemah dan murah. Itu merupakan ketimpangan gender yang terjadi pada tokoh Adisaroh. Ketimpangan tersebut terjadi karena sistem patraiaki yang dianut oleh masyarakat.

Sistem Patriarki adalah warisan dari budaya kolonialisme. Sehingga sangat melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam patriarki sangat erat hubungannya dengan ketimpangan gender yang dialami oleh kamu perempuan. Kaum perempuan dianggap nomor dua. Karena segala macam urusan, pangkat, jabatan, serta tanggung jawab diberikan kepada kaum pria. Dalam Naskah mangir terdapat perseteruan antara kerajaan dengan warga Mangir.  Sehingga dapat kita garis bawahi tentang budaya patriarki yang ada di lingkungan kerajaan mataram. Sehingga menarik untuk dianalisis menggunakan teori kesetaraan gender atau feminis.

 

GAYA

1)      Latar

Latar merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan cerita. Menurut B. Rumanto dan Peni Adji (dalam Kendati, Juliardgi, 2006: 54) latar mengacu pada segala keterangan tentang waktu, ruang, dan segala sesuatu dalam drama. Pada drama mangir, setelah dianalisis tedapat beberapa latar sebagai berikut:

1.1  Latar Tempat

Latar tempat drama mangir sudah tertulis dengan jelas oleh sang penulis. Sehingga sutradara tidak perlu binggung lagi menentukan setting tempat kejadian atau peristiwa dalam drama. Seperti yang sudah jelas bahwa naskah Drama Mangir dibagi menjadi tiga babak dengan setting tempat yang berbeda-beda. Pada babak pertama setting atau latar tempat berada di sebuah ruangan pendopo di daerah Perdikan Mangir. Pada babak kedua setting atau latar tempat terletak di taman bungga di samping rumah Ki anging Mangir yang berarti masih didaerah Perdikan Mangir. Sedangkan untuk setting babak ketiga yaitu di Balairung Kraton Mataram. Penulis menuliskan keterangan setting tempat setiap babaknya dengan sangat jelas sehingga pembaca maupun sutradara tidak akan kebinggungan saat membaca naskah drama mangir.

1.2  Latar Waktu

Latar waktu dalam naskah drama mangir juga dibagi menjadi tiga waktu yaitu. Pada babak pertama terjadi pada musim panen dan pasca pertempuran mangir dan mataram yang dimenangkan oleh mangir. Peralihan dari babak pertama ke babak kedua menempuh rentang waktu yang lumayan panjang penulis tidak menjelaskan secara jelas berapa bulan atau tahun. Tetapi jika dilihat pasca peristiwa bisa dikatan bahwa rentang babak pertama dengan babak kedua sekitar lima sampai enam bulan. Berawal darik pernikahan KI Ageng Wanabaya dengan Adisaroh  (Putri Pembayun). Serta ketika masuk babak kedua Adisaroh telah hamil. Sedangkan untuk rentang waktu anatara babak kedua dengan babak ketiga yaitu sekitar seminggu. Karena secara langsung disampaikan melalui dialog.

Putri Pembayun     : […] mataram telah siapkan peenyerangan. Hanya satu minggu diberikan pada ibumu.

(halaman 70)

1.3  Latar sosial

Hal yang melatar belatangi terjadinya permusuhan anatara Mangir dan Mataranm yaitu terjadinya perbeda pahaman antara tetua mangir dengan raja Mataram. Perdikan Mangir yang merupakan wilayah yang terlebih dahulu ada, tidak mau menerima jika harus masuk kedalam wilayah Mataram yang baru dibangun. Hal tersebut yang menjadikan perdebatan antara Mangir dengan Mataram. Selain itu keserakaha raja Mataram yang haus akan wilayah kekuasaan.

 

2)      Sudut pandang

Sudut pandang yang digunakan dalam menulis Drama Mangir yaitu Pram mengguanakan sudut pandang orang ketiga. Di mana orang ketika berperan sebagai Tuhan yang maha tahu akan jalannya cerita.

3)      Pencitraan

Pencitraan atau proses penggambaran cerita yaitu bahwa cerita Drama Mangir tersebut bersifat realis dan sangat dekat dengan kita. Selain itu dalam penggunaan bahasa sehari-hari dengan menyesuaikan zaman yang kala kerajaan. Sehingga kesan yang ditimbulkan yaitu terciptanya cerita nyata pada masa kerajaan Mataram.

4)      Imaji

Imaji yang disampaikan oleh penulis yaitu pengambaran kisah pada era kerajaan. Menurut sejarah berdirinya kerajaan Mataram yaitu pada abad 16 batau sekitar tahun 1584-1601. Perseteruan antara Mataram dan Mangir diperkirakan sekitar abad ke-16. (Ricklefs via suryo, dalam Kedati, Juliardgi 2006: 56).

5)      Simbolis

Dalam Drama Mangir terdapat banyak sekali simbol-simbol yang dipakai sebagai istilah dalam bahasa yang digunakan. Simbol-simbol tersebut merupakan hasil peninggalan dari budaya Hindu yang lebih dulu hadir di Nusanatara. Misalnya istilah perdikan, tandak, maupun brahmacarya, dan lain sebagainya. Istilah-istilah tersebut merupakan simbol-simbol yang dianut oleh penganut agama Hindu di era Nusantara.

Simbol-simbol juga terlihat dari penggunaan kostum atau atribut setiap tokohn yang dihadirkan. Karena setiap tokoh oleh penulis sudah ditentukan kostum dan atribut apa yang digunakan. Hal tersebut digunakan untuk antisipasi logika cerita. Misalnya penggunaan baju berupa kain batik setiap tokohnya berbeda. Karena setiap kain batik mengandung simbol-simbol yang berbeda-beda. Misalnya membedakan antara rakyat jelata dengan para pejabat kerajaan atau tetua wilayah.

6)      Genre

Genre Naskah Drama Mangir yaitu klasik kolosal di mana penulis menghadirkan cerita rakyat yang beredar di masyarakat Jawa. Selain itu, naskah ini sangat terkait dengan cerita rakyat (foklor) yang pastinya bernilai sejarah untuk orang yang mempercayainya.

KONTEKS SEJARAH

Drama Mangir sendiri ditulis oleh Pram yaitu ketika ia sedang dipenjara di Pulau Buru yaitu pada tahun 1976. Unsur yang ditonjolkanm dalam kisah mangir Pram yaitu ia menghilangkan unsur mitologi Jawa yang telah ada dalam cerita mangir yang beredar di masyarakat. Hal tersebut dilakukan karena cerita mangir yang beredar di masyarakat sangat erat dengan feodalisme dan kolonialisme peninggalan masyarakat Jawa.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi Pram untuk melakukan penulisan ulang terhadap kisah Mangir. Pertama, Pram hidup dan besar di lingkungan tradisi Jawa yang sangat mengikat, karena itu tidaklah mustahil jika Pram membuat sebuah cerita versi dia sendiri mengenai perjalanan sejarah kerajaan Mataram dan Perdikan Mangir. Kedua, berdasarkan tulisan-tulisan Pram yang lain ia memberi kesan “ketidaksukaan”nya terhadap hal-hal yang irasional, yang terlalu berkaitan dengan fetis dan mitos-mitos, dalam hal ini kebudayaan Jawa. Bolehlah jika memiliki kesopanan dan pekerti ketimuran—Jawa. Tetapi dari segi pemikiran hendaklah kita memilih pemikiran barat yang maju, skeptis, kritis, dan kreatif. Ketiga, Pram adalah seorang yang berideologi realism, sosialis, terutama dalam hal pandangan mengenai pentingnya realitas baik dalam pengalaman langsung maupun dari sumber sejarah yang telah terjadi (Kurniawan, dalam Kandati, Juliardgi 2006: 4-5), yang merupakan hasil tempaan ketika berada pada Lemabaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Filsafat Prancis sangat mempengaruhi Pram dalam menuliskan karya-karyanya yang realis yang merupakan penolokan terhadap hal yang tak rasional dan meramunya dengan penuh penghayatan dalam konteks logika (Djokosujatno, dalam Kandati, Juliardgi 2006: 5). Keempat, Pram sangat dekat dengan sejarah. Hampir seluruh karyanya menyuarakan tentang fakta sejarah dan kaum yang terpinggirkan yang berbeda dengan dokrinasi para penguasa, mungkin karena Pram sendiri adalah korban Indonesia yang sangat pahit ditambah dengan pemikiran realism sosialis dalam diri Pram yang melukiskan kenyataan dalam perkembangan revolusionernya, selaras dengan kebenaran dan fakta sejarah. Georg Lukacs, pakar Hungaria dalam roman sejarah mengatakan bahwa roman sejarah menjadi “wadah untuk menyusupkan pelajaran politik, moral, dan intelektual yang berguna sepanjang masa” (Djokosujatno, dalam Kandati, Juliardgi 2006: 5).

Tujuan Pram menuliskan Kembali Drama Mangir yaitu untuk dibaca, dipentaskan, dan dipahami nilai-nilai yang terkadung dalam Naskah Mangir. Pram menuliskan secara rinci tokoh-tokoh dalam Drama Mangir mulai dari kostum, gerak-gerik tiap tokoh, hingga sifat-sifat tokoh yang disampaikan secara implisit. Mengartikan bahwa ia sengaja mempermudah sutradara dalam mementasakan naskah tersebut. Pram merupakan penulis yang arti Feodalisme, Kolonialisme, atau Patraiarki. Selalu setiap tokoh yang dihadirkan pada tiap karyanya bersuara kemanusiaan. Kiprahnya dalam penulis mendapat banyak sekali penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Terbukti dengan diaraihnya beberapa penghargaan, seperti  Freedom to write ward dari PEN America Center, As, (1988), Centenarion Pablo Neruda, chill (2004), dan lain sebagainya.

 

TINJAUAN KRITIS

Kisah Mangir adalah kisah yang sudah beredar di masyarakat Jawa yang disampaikan oleh leluhur jawa secara turun-temurun. Awal mulanya kisah Mangir selalu dipentaskan oleh masyarakat dalam bentuk teater tradisional yaitu ketoprak. Oleh Pram kisah Mangir yang selalu dipentaskan dalam ketoprak tersebut ditulis kembali dengan tujuan ingin mengangkat kisah ini dari kisah daerah menjadi kisah nasional. Dalam menceritakan kisah ini Pram menambahkan suara-suara ia dinaskah tersebut. Sehingga timbulah pembaruan cerita yang lebih menarik.

Dalam menuliskan Drama Mangir Pram mengangkat peermasalahan yang up to date, yaitu membahas pemerintahan yang pastinya akan berlaku sepanjang masa. Sistem feodalisme, patriarki merupakan cerminan dari sebuah kerajaan. Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang tidak dapat dipungkiri  bahwa sifat-sifat kolonialisme dan feodalisme telah mendarah daging pada masyarakat Indonesia. Sehingga sekarang masih tetap diberlakukan oleh pemerintah Indonesia. Sehingga kisah Mangir masih tetap diterim aoleh masyarakat karena masih membahas tentang permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat.

 

Daftar Pustaka

Aryani dan Maullinda R. 2019. Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Naskah Drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer. Pamulang: Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Pamulang.

Kandati, Juliardgi. 2006. Penghadiran Kembali Kisah Mangir dalam Drama Mangir Karya Pramoedya Ananta Toer dengan Babad Mangir sebagai Pembanding, sebuah Pembanding Estetika Resepsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Suroso. 2015. Drama, Teori dan Praktik Pementasan. Yogyakarta: Elmatera Publisher.

Toer, Pramoedya Ananta. 2018. Drama Mangir. Jakarta: Gramedia.

 

Daftar Rujukan

Kosasih, E. 2008. Apresiasi Sastra Indonesia Puisi Prosa Drama. Jakarta: Penerbit Nobel Edumedia.

Pengantar [Online] Ki Ageng Manggir Lena – Dentum YK & Gema Berdaya. Diakses dari https://youtu.be/JC27ej2CxQA, pada tanggal 20 Maret 2020, pukul 20.00.

Pengantar [Online] Bedah Sejarah Mangir I Getok Tular. Diakses dari https://youtu.be/JTMhKpGLiqE, pada tanggal 20 Maret 2020, pukul 17.00.

Pengantar [Online] Drama Mangir. Diakses dari https://youtu.be/jjBUUWi9RGU, pada tanggal 20 Maret 2020, pukul 16.00.

Pengantar [Online] Ki Ageng Mangir 1. Diakses dari  https://youtu.be/0HReZtKHgbk, pada tanggal 20 Maret 2020, pukul 15.00.

 

 



[1] Merdeka.com “Profil-Pramoedya Ananta Toer”diakses dari pada tanggal 22 Maret 2020, https://www.merdeka.com/pramoedya-ananta-toer/, pukul 08.00

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer